• Jelajahi

    Copyright © Ops Jurnal
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Halaman

    Menafsir Ulang Marhaenisme: Bung Karno di Era Korporatokrasi

    Jumat, 20 Juni 2025, Juni 20, 2025 WIB Last Updated 2025-06-20T03:00:44Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    opsjurnal.asia -

    “Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya.” (Bung Karno). 

    Menyambut peringatan wafatnya Bung Karno (21 Juni), petikan pidatonya yang disampaikan pada HUT Kemerdekaan RI tahun 1964 kembali terdengar nyaring. Saya hendak merujuk dua peristiwa aktual saja.

    Pertama, heboh penambangan nikel di wilayah Raja Ampat yang dikenal pula dengan julukan “Surga Terakhir di Bumi”.


    Presiden Prabowo akhirnya mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham.

    Julukan “Surga Terakhir di Bumi” itu bukan sekadar ungkapan puitis, melainkan faktual. Berbagai sumber menyebutkan bahwa lanskap Raja Ampat memiliki keindahan yang menakjubkan.

    Raja Ampat merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia atau Coral Triangle, kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. 

    Raja Ampat memiliki lebih dari 1.500 pulau kecil, atol, dan beting, yang mengelilingi empat pulau utama, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.

    Keajaiban alam Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi juga menjadi kekayaan dunia yang perlu dijaga bersama. 

    Saya belum pernah merasakan langsung “Surga Terakhir di Bumi” itu. Kemolekannya hanya terbayangkan. Saya yakin banyak sekali warga Indonesia yang bernasib seperti saya, dan tentu saja sangat berharap kelak bisa menikmati anugerah Tuhan di Papua Barat Daya itu. 

    Namun, “Surga Terakhir di Bumi” itu kini terancam oleh ekspansi tambang nikel. Anugerah Tuhan yang semestinya dijaga kelestariannya berpotensi lenyap dan tinggal cerita akibat ketamakan/kerakusan manusia. 

    Kedua, penyitaan uang Rp 11,8 triliun atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa hari lalu. 

    Uang Rp 11,8 triliun tersebut berasal dari lima korporasi di bawah naungan Wilmar Group, yakni PT Multimas Nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. 

    Wilmar International Limited yang merupakan induk perusahaan Wilmar membantah bahwa uang tersebut merupakan hasil sitaan Kejagung. 

    Perusahaan itu menyebut, uang Rp 11,8 triliun tersebut merupakan uang jaminan untuk menunjukkan iktikad baik Wilmar Group atas kasus yang sedang menimpanya (Kompas.com, 18/06/2025). 

    Selain Wilmar Group, merujuk laman resmi Mahkamah Agung (MA), ada dua korporasi lain yang terlibat dalam perkara tersebut, yakni PT Musim Mas Group dan PT Permata Hijau Group. 

    Nilainya juga tidak kecil. Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Group sebesar Rp 937,5 miliar.

    Korporatokrasi

    Dua peristiwa aktual tersebut, saya kira, merepresentasikan realitas korporatokrasi yang mencengkeram negeri ini.

    Korporatokrasi diartikan gabungan kekuatan korporasi besar, lembaga keuangan dan pemerintahan untuk menyatukan kekuatan finansial dan politik guna memaksa masyarakat mengikuti kehendak mereka. Inilah percumbuan antara kekuatan kapital dan politik yang mengerikan, karena beroperasi pada tingkat kebijakan (legalitas) yang tak jarang mengatasnamakan kepentingan negara.

    Korporatokrasi menyasar ranah kebijakan dan regulasi tatakelola bidang-bidang basah, seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, perkebunan, perbankan, perdagangan, kesehatan. Dengan menguasai ranah kebijakan dan regulasi, apapun yang dilakukan akan tampak legal.

    Bibit korporatokrasi sesungguhnya telah tertanam sejak zaman kolonial. Percumbuhan antara korporasi dan pemerintah kolonial membuat rakyat jajahan tertindas dan miskin. Meski sesungguhnya rakyat memiliki alat-alat produksi.

    Realitas penindasan dan kemiskinan itulah yang dilihat dan ditentang oleh Bung Karno melalui marhaenisme. Pernyataan Bung Karno yang saya kutip di atas tentu saja berbasis pada pemikiran marhaenisme.

    Korporatokrasi mendapatkan angin segar pada zaman Orde Baru. Makin menggurita justru pada zaman Reformasi. 

    Dilihat dari sudut ekspansi kapitalisme dunia, Orde Baru dan Reformasi sejatinya berada dalam satu perahu. Keduanya lahir di tengah kekacauan eko¬nomi yang parah, lalu melakukan rehabilitasi ekonomi dengan dana pinjaman luar negeri berdasarkan resep lembaga keuangan dunia. Kedua rezim menjalankan politik “pintu terbuka”. 

    Kalau politik pintu terbuka rezim Orde Baru dimaksudkan untuk mengintegrasi¬kan Indonesia ke dalam kerangka kerja “dunia melawan komunisme”, politik pintu terbuka rezim Reformasi dimaksudkan untuk mengintegrasi¬kan Indonesia ke dalam kerangka kerja “dunia pasca-Perang Dingin”.


    Kedua dunia sama-sama dikendalikan oleh negeri kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat. Karena itu, kedua rezim juga menjadi subordinat kapitalis dunia. Jelas sekali korporatokrasi adalah menifestasi neoliberalisme. 

    Secara teoritis, pemerintah yang mendapatkan kekuasaan langsung dari rakyat seharusnya jauh lebih kuat dan mampu mengendalikan korporasi tersebut. Namun, pemerintah dalam arti luas justru tunduk pada kepentingan ekonomi korporasi. 

    Kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif tak berdaya. Mereka mudah disuap, mudah tertawan oleh kepentingan korporasi. 

    Korporatokrasi jelas sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat. Esensinya bukan terletak pada percumbuhan antara kapital dan politik, melainkan percumbuhan itu melegalkan eksploitasi sumber daya alam dan manusia demi keuntungan kapitalis dan elite penyelenggara negara semata. 

    Mereka tidak terbatas pada korporasi besar (multinasional) dan pemerintahan di tingkat pusat saja, tapi juga korporasi nasional dan pemerintahan di tingkat daerah.

    Percumbuhan itu tidak hanya mengeruk secara rakus kekayaan alam, tapi juga rentan terhadap korupsi yang dilakukan dengan menyandera negara (state-hijacked corruption). Korupsi tersebut melibatkan pemerintah dalam arti luas, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan, sampai batas tertentu didukung sebagian media massa dan kaum intelektual.

    Menyelamatkan Indonesia 

    Aksi menyelamatkan Indonesia harus menjadi agenda penting dan utama bangsa ini. Gurita korporatokrasi terbukti menjauhkan Indonesia dari cita-cita kemerdekaan. 

    Pengelolaan kekayaan alam Indonesia bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, melainkan mengalir untuk kaum elite di dalam negeri maupun luar negeri. Kekayaan alam Indonesia hanya dinikmati kalangan terbatas, bukan rakyat pada umumnya. 

    Bahkan, negara pun kesulitan memenuhi kewajiban konstitusi, seperti di bidang pendidikan dan kesehatan.

    Angka korupsi, penggelapan, dan sejenisnya yang diduga mencapai ribuan triliun rupiah sangat kontras dengan kesulitan negara untuk menyediakan beasiswa dan fasilitas pendidikan yang baik. 

    Kontras pula dengan angka stunting yang masih tinggi (20 persen) dan fasilitas kesehatan untuk rakyat yang memprihatinkan.

    Pesan Bung Karno di atas patut direnungkan. Ternyata pengelolaan kekayaan negara tidak cukup oleh bangsa sendiri tanpa didasari jiwa dan semangat yang oleh Bung Karno disebut “sosio-nasionalisme”. 

    Para penyelenggara negara atau pemimpin pemerintahan haruslah orang-orang yang mengerti sejarah Indonesia dan memahami betul nasionalisme berperikemanusiaan, nasionalisme yang berpijak pada keadilan sosial.

    Selama ini kita terlena oleh praktik korporatokrasi yang dibungkus oleh istilah-istilah eufemistis, seperti kemitraan, kontrak karya, alih teknologi, dan lain-lain, yang ternyata berisi penggarongan kekayaan.

    Ujungnya, bukan hanya ketidakadilan bagi rakyat Indonesia hari ini, melainkan pewarisan ketidakadilan kepada rakyat atau generasi akan datang. 

    Karena itu, aksi menyelamatkan Indonesia harus dipahami sebagai tugas sejarah yang tak pernah selesai. Bukan untuk Indonesia hari ini saja, melainkan Indonesia hari esok.

    Hal itu didasari oleh pandangan ideologis bahwa hubungan kita dengan Tanah Air, sebagaimana dijelaskan Bung Karno, bukan hubungan ekonomi semata, tapi hubungan ekologis dan spiritual. 

    Hubungan tersebut membentuk kewajiban etis dan nilai-nilai sebagai landasan moral praktik bernegara. 

    Saya lalu teringat gagasan “eko-marhaenisme” yang dipromosikan oleh Prof. Arief Hidayat, seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga Ketua Umum DPP Persatuan Alumni GMNI. 

    Menurut Arief Hidayat, eko-marhaenisme adalah pertemuan antara semangat marhaenisme dengan prinsip ekologi yang berkelanjutan. 

    Eko-marhaenisme ditawarkan sebagai paradigma untuk menjawab tantangan Indonesia dewasa ini: bagaimana mengelola kekayaan alam berbasis keadilan sosial tanpa merusak daya dukung lingkungan dan mengorbankan generasi mendatang (Marhaen.id, 10/05/2025). 

    Saya mengamini gagasan eko-marhaenisme. Gagasan itu menggariskan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keadilan sosial (demokrasi ekonomi) yang berkelanjutan.

    Demokrasi Indonesia harus pula menjamin kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, bukan demokrasi yang hanya menjamin hak politik warga negara. Prinsip-prinsip ekologis dipandang relevan dan memperkuat teori marhaenisme untuk menyelamatkan Indonesia. 

    Namun, gagasan eko-marhaenisme tak cukup diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Tak kalah penting dari bunyi pasal-pasal adalah semangat dan moralitas penyelenggara negara atau pemimpin pemerintahan. 

    Tanpa semangat dan pijakan moral yang kuat, pasal-pasal yang pro-rakyat pun akan disiasati. Selamatkan Indonesia, sekarang juga!

    Sumber : kompas.com



    Komentar

    Tampilkan

    Terkini