Jakarta,OpsJurnal.Asia -
Rencana pemerintah menerapkan kebijakan redenominasi rupiah kembali mengemuka dan menjadi sorotan di DPR RI.
Sejumlah anggota dewan bahkan memberikan catatan serius agar pemerintah tak tergesa-gesa menjalankannya.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengatakan bahwa redenominasi bukanlah kebijakan teknis sederhana seperti sekadar menghapus tiga digit nol pada uang rupiah.
Dalam pandangannya, langkah tersebut mencakup perubahan struktur nominal yang menyentuh aspek psikologis publik, kebiasaan transaksi, hingga mekanisme pembentukan harga di pasar.
Politikus PDI-P itu menegaskan bahwa pelaksanaan redenominasi yang tidak dibarengi persiapan matang berpotensi memunculkan gejolak harga.
Pelaku pasar, lanjut Said, dapat memanfaatkan masa transisi sebagai ruang permainan pembulatan harga yang merugikan konsumen.
“Kalau semua itu belum, jangan coba-coba dilakukan redenominasi. Jangan dikira bahwa redenominasi itu sesuatu yang sekadar menghilangkan tiga nol di belakang,” kata dia.
Said kemudian memberi ilustrasi.
Jika suatu barang yang sebelumnya dijual Rp 280 lalu setelah redenominasi dibulatkan menjadi Rp 300, kenaikan kecil itu dapat berlangsung secara luas dan berulang, hingga menghasilkan efek inflasi yang signifikan.
“Kalau aspek teknis pemerintah itu belum siap, kalau harga 280 dibulatkan 300 rupiah, maka inflatoirnya yang terjadi. Itu yang paling sangat mengganggu pikiran kami di Badan Anggaran,” ucap politikus PDI-P tersebut.
Risiko salah persepsi publik dan bukan hal mendesak
Said juga menyoroti risiko salah pemahaman di masyarakat.
Redenominasi yang hanya menyederhanakan nominal tanpa mengubah nilai uang rawan disamakan
“Sangat berbeda dengan sanering. Justru itu perlu sosialisasi. Jangan sampai redenominasi itu sama dengan bagi masyarakat, pemotongan uang. Nah, itu kan bahaya sekali,” jelas Said.
Oleh sebab itu, Said menilai pemerintah perlu mengalokasikan waktu sosialisasi yang intensif sebelum kebijakan diterapkan.
Said memandang satu tahun sosialisasi penuh sudah cukup memberi pemahaman mendasar, tetapi waktu transisi redenominasi penuh setelah undang-undang diterbitkan dapat mencapai tujuh tahun.
“Tujuh tahun proses redenominasinya ketika undang-undangnya diterbitkan. Tapi kalau sosialisasi, satu tahun penuh intensif insyaallah bisa,” katanya.
Dia pun mengingatkan bahwa redenominasi rupiah belum menjadi kebutuhan mendesak dalam waktu dekat.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya tak gegabah dalam mengeksekusi rencana tersebut.
"Urgensi tidak. Pada tingkat kebutuhan ke depan barangkali iya,” tegas Said.
Meski memberi banyak catatan, Said tidak menampik adanya manfaat redenominasi.
Salah satunya dari sisi efisiensi fisik uang tunai dan penyederhanaan pencatatan transaksi.
“Ya memang sangat bermanfaat sih. Kalau 10 juta tebalnya 3 senti, nolnya tiga dibuang kan lumayan punya satu lembar,” tuturnya sambil tersenyum.
Komisi XI siap bahas dengan catatan
Di sisi lain, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan bahwa DPR siap membahas Rancangan Undang-Undang Redenominasi bersama pemerintah.
Dia menilai kebijakan tersebut sebagai bagian dari modernisasi sistem pembayaran nasional.
“Pada prinsipnya, kami menyambut baik rencana redenominasi ini. Kami siap membahasnya sepanjang seluruh aspek teknis, transisi, dan kesiapan publik telah dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang,” ujar Misbakhun.
Meski begitu, politikus Golkar itu menegaskan pentingnya pemerintah untuk terlebih dahulu menyiapkan peta jalan (roadmap) pelaksanaan redenominasi yang jelas.
Peta jalan tersebut turut mencakup tahap peralihan dari uang lama ke uang baru, pengaturan sistem pembayaran, hingga strategi komunikasi publik.
“Kami “Yang paling penting, Bank Indonesia harus memastikan stabilitas inflasi dan sistem pembayaran tetap terjaga selama proses perubahan,” pungkasnya.
“Yang paling penting, Bank Indonesia harus memastikan stabilitas inflasi dan sistem pembayaran tetap terjaga selama proses perubahan,” pungkasnya.
Rencana Pemerintah redenominasi rupiah
Sebagai informasi, pemerintah saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah atau RUU Redenominasi, yang ditargetkan rampung pada tahun 2027.
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029.
Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kebijakan redenominasi tidak akan diterapkan dalam waktu dekat.
Dia juga menekankan bahwa kebijakan tersebut merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI), bukan Kementerian Keuangan.
"Itu kebijakan bank sentral dan dia nanti akan diterapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tapi enggak sekarang enggak tahun depan," kata Purbaya di Surabaya.
Purbaya pun meminta publik tidak salah memahami bahwa pelaksanaan redenominasi bukan berada di bawah otoritas Kementerian Keuangan.
"Itu kebijakan bank sentral, bukan Menteri Keuangan. Kan bank sentral sudah kasih pernyataan tadi. Jadi jangan gue yang digebukin, gue digebukin terus," pungkasnya.

